Kerja Bukan Cuma Gaji: Begini Cara Gen Z Menentukan Makna Karier

Kaweden MYID - Gen Z lahir diantara 1997 - 2012, generasi ini tumbuh di tengah revolusi digital, krisis global dan percepatan teknologi. Mereka dikenal adaptif, kritis, serta memiliki perhatian penuh terhadap keseimbangan hidup dan makna kerja. Salah satu contoh nyata adalah sosok seperti Jerome Polin, ia menikmati pekerjaan yang menantang intelektual tetapi tetap memberikan ruang untuk ekspresi diri.
Bagi Gen Z, pekerjaan bukan sekadar sumber penghasilan, melainkan sarana untuk berkembang dan berkontribusi. Mereka lebih menghargai kejujuran, penghargaan individu dan keseimbangan personal. Ketika merasa kontribusinya diabaikan atau lingkungan kerja tidak terbuka, mereka tak ragu untuk berpindah. Bagi mereka, pengakuan serta peluang untuk berkembang adalah bagian penting dari kepuasan dan loyalitas mereka di dunia kerja.
Survei Deloitte Global Gen Z and Millennial 2025 mencatat 61 persen Gen Z bertahan di tempat kerja yang mendukung kesehatan mental dan peluang belajar berkelanjutan. Mereka mencari organisasi dengan fleksibilitas, nilai yang jelas, dan kesempatan berkembang. Sebaliknya, Gallup Workplace Report 2024 menyebut Gen Z mudah gelisah di sistem kerja yang kaku dan hierarkis. Mereka lebih produktif di lingkungan kolaboratif dengan pimpinan yang terbuka terhadap umpan balik.
Dalam bekerja, Gen Z mengandalkan critical thinking dan design thinking, yaitu menganalisis masalah secara logis, kreatif, empati serta eksperimen. Pendekatan ini membuat mereka mudah menyesuaikan diri dengan budaya kerja baru, terutama di sektor teknologi, komunikasi, dan industri kreatif. Data LinkedIn Workplace Learning Report 2024 menunjukkan 76 persen profesional Gen Z aktif mengikuti pelatihan daring untuk memperkuat kemampuan analitis dan kreatif.
Beberapa faktor yang membuat Gen Z bertahan di tempat kerja adalah kepemimpinan suportif, fleksibilitas waktu dan lokasi, kultur kolaboratif lintas generasi, serta keselarasan nilai pribadi dengan isu keberlanjutan. Sebaliknya, ketidakjelasan arah karier, kurangnya pengakuan, dan komunikasi satu arah dari manajemen membuat mereka gelisah.
Gen Z tidak hanya akrab dengan teknologi, tetapi memanfaatkannya untuk membangun identitas profesional. Platform seperti LinkedIn, GitHub, dan Behance digunakan untuk menampilkan portofolio, memperluas jaringan, dan membentuk reputasi karier.
Di sisi lain, kesadaran akan kesehatan mental juga menjadi ciri khas generasi ini. Survei Mind Matters Asia 2025 menemukan lebih dari 70 persen karyawan Gen Z menganggap dukungan psikologis di tempat kerja sama pentingnya dengan kompensasi finansial. Karena itu, perusahaan mulai menghadirkan program employee wellness, konseling daring, hingga cuti kesehatan mental.
Kehadiran kecerdasan buatan (AI) turut memengaruhi cara Gen Z bekerja. Bagi mereka, AI bukan ancaman, melainkan alat kolaboratif untuk meningkatkan produktivitas. World Economic Forum 2025 melaporkan 68 persen pekerja Gen Z di Asia Tenggara telah menggunakan alat berbasis AI untuk riset, desain, hingga analisis data. Hal ini mendorong mereka memperkuat future skills seperti literasi digital, empati, komunikasi lintas disiplin, dan berpikir sistemik.
Gen Z menolak jalur karier linear. Mereka lebih memilih karier portofolio, menggabungkan berbagai proyek lintas bidang yang memberi kebebasan bereksperimen. Model ini memungkinkan keseimbangan antara pekerjaan formal dan aktivitas personal seperti konten kreatif atau wirausaha sosial.
Fenomena ini menjadi tantangan bagi perusahaan untuk memperkuat employer branding berbasis nilai. Bagi Gen Z, reputasi perusahaan bukan sekadar citra di media sosial, tetapi pengalaman nyata di tempat kerja. Mereka mencari perusahaan yang transparan, memiliki visi sosial, dan memberi ruang pertumbuhan.
Kolaborasi lintas generasi juga menjadi aspek penting. Gen Z membawa semangat digital dan kecepatan adaptasi, sementara generasi senior menawarkan pengalaman dan stabilitas. Kombinasi keduanya dapat menciptakan sinergi jika ada komunikasi terbuka dan saling menghargai.
Sebagai “anak kandung digital”, Gen Z banyak menekuni bidang teknologi informasi, pemasaran digital, desain kreatif, kewirausahaan sosial, data science, serta pekerjaan yang berkaitan dengan lingkungan dan keberlanjutan.
Bagi mereka, keberhasilan tidak diukur hanya dari kinerja finansial, tetapi dari kemampuan perusahaan menciptakan lingkungan kerja yang humanis, fleksibel, dan bermakna. Gen Z menginginkan transparansi, kesempatan belajar, serta kepemimpinan yang empatik. Mereka ingin bukan sekadar bekerja, tetapi juga tumbuh dan berkontribusi pada sesuatu yang lebih besar dari sekadar jabatan.***
Anda telah membaca artikel dengan judul Kerja Bukan Cuma Gaji: Begini Cara Gen Z Menentukan Makna Karier. Semoga bermanfaat dan terima kasih sudah berkunjung di website Kaweden MYID.
Gabung dalam percakapan