Penjelasan Ahli UGM Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Tengah Tekanan pada Jurnalis dan Industri Media
Kaweden MYID , Jakarta - Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) ( UGM) Wisnu Prasetya Utomo mengatakan sektor tersebut sebagai industrinya media Di Indonesia tekanannya masih terus ada beberapa tahun terakhir. Hal ini secara langsung mempengaruhi peningkatan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). PHK ) di sektor media dalam kurun waktu tersebut.
Menurut Wisnu, tekanan yang dialami mayoritas media terjadi karena faktor kegagapan beradaptasi di tengah disrupsi digital. Ini menjadi penyebab utama kegagalan media menciptakan model bisnis digital yang berkelanjutan.
AJI Indonesia mencatat sekitar 1.200 pekerja media, termasuk jurnalis, terkena PHK sepanjang 2023 hingga 2024. Namun, jumlah sebenarnya kemungkinan lebih besar karena tidak semua kasus tercatat. Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menyebutkan gelombang PHK ini terjadi karena sebagian besar iklan beralih ke media sosial dan influencer sampai mengambil 75 persen dari seluruh pasarnya dalam bidang periklanan.
Menurut Wisnu, fenomena ini terjadi karena sebagian besar media di Indonesia masih menggantungkan pendapatan pada iklan. Kondisi ini, kata dia, sudah berlangsung sejak Orde Baru. Media sangat bertumpu pada iklan, baik swasta maupun belanja iklan pemerintah.
" Ini adalah suatu pola lama yang telah menjadi usang dalam zaman digital sekarang. Saat iklan tersebut beralih ke pemain baru seperti platform digital, perusahaan-perusahaan media besar tampaknya kurang siap," jelas Wisnu lewat pernyataan tertulis kepada Tempo , Minggu, 4 Mei 2025.
Wisnu mengatakan bahwa masalah itu sudah terjadi cukup lama dan menjadi lebih buruk karena campuran dari krisis dunia, pergantian dinamika politik, ditambah dengan aturan pemerintah tentang peningkatan efisiensi yang menyebabkan pengurangan anggaran untuk iklan di media. "Faktor-faktor ini semakin mendorong kemerosotan sektor persada Indonesia," katanya.
Di luar masalah model bisnis, Wisnu juga menekankan pada transformasi perilaku konsumen informasi publik sebagai faktor yang mempengaruhi penurunan sistem media. Menurutnya, saat ini media mainstream sudah bukan satu-satunya rujukan untuk mendapatkan berita dan informasi. "Sumber informasi semakin mudah diakses oleh semua orang. Kini, masyarakat memiliki lebih banyak opsi, baik itu bermutu tinggi maupun sebaliknya," jelasnya.
Wisnu juga menyoroti dominasi platform digital global dalam menyedot pendapatan iklan. Platform seperti Google dan YouTube bisa menjangkau audiens langsung, sehingga melewati peran media sebagai penjaga gerbang informasi.
“Mereka melakukan bypass "Terkait dengan media ini, hal tersebut menyebabkan perubahan dalam iklan menjadi sangat signifikan," ungkap Wisnu, seorang doktoral student dari School of Journalism, Media, and Communication, University of Sheffield, Inggris.
Dia menyatakan bahwa media tidak dapat mengatasi masalah-masalah tersebut dengan seorang diri. Sangat diperlukan dukungan peraturan yang adil untuk memastikan bahwa media masih menerima bagian iklannya secara wajar. Sementara itu, media juga harus merancang strategi penghasilan tambahan, misalnya melalui sistem langganan dan pembiayaan dari hibah, sehingga mereka tidak terpaku hanya pada pendapatan iklan saja.
Dalam konteks hadirnya teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam lingkup redaksi, Wisnu mengatakan bahwa hal tersebut belum menimbulkan pemotongan pekerjaan secara langsung di bidang pers. Baginya, aspek yang paling penting masih berkisar pada kelangsungan model bisnis.
"Memang benar AI dapat meningkatkan kecepatan arus informasi, namun pekerjaan jurnalis profesional tetap sulit tergantikan demikian saja. AI hanyalah bantuan," katanya. Dia memberi contoh bahwa AI tak akan mampu mengambil alih tugas-tugas dalam bidang jurnalisme investigatif.
Wisnu berpendapat bahwa adanya AI dapat memperkokoh praktik jurnalisme apabila dipakai sebagai sarana pendukung dan tidak menjadi substitusi bagi para wartawan. "Jika dijadikan untuk mengambil alih peran jurnalis, hal tersebut malah akan merusak lingkungan redaksi," ujarnya.
Dia menyebutkan bahwa pola pemakaian kecerdasan buatan (AI) ini juga berlangsung di skala dunia. Surat kabar seperti New York Times dan The Guardian telah memulai implementasi AI dalam proses editorialnya dengan langkah-langkah yang cermat dan terkendali. "Prioritas utama mereka adalah mengintegrasikan AI sebagai alat bantu, tidak untuk mengambil alih pekerjaan," katanya.
Wisnu menyebutkan hasil penelitian dari Reuters Institute yang mencatat bahawa media utama di Amerika serta Eropa memakai teknologi kecerdasan buatan (AI) demi meningkatkan produktivitas, khususnya dalam hal pendistribusionan dan penghasilan materi informasi semacam infografik. "Penemuan cerita masih menjadi wilayah para wartawan," ucapnya. "Sampai saat ini, AI tidak dipergunakan sebagai ganti posisi mereka."
Anda telah membaca artikel dengan judul Penjelasan Ahli UGM Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Tengah Tekanan pada Jurnalis dan Industri Media. Semoga bermanfaat dan terima kasih sudah berkunjung di website Kaweden MYID.
Gabung dalam percakapan